Kebanyakan masyarakat sunda hidup menggantungkan diri pada ladang dan sawah. karena dua mata pencarian tersebut , masyarakat sunda melakukan beberapa upacara turun temurun . Upacara inilah yang merupakan satu penghormatan kepada Nyi Pohaci Sang Hyang Asri dan Batara Patanjala.
Artinya bagi masyarakat ladang , padi dan hujan merupakan dua sejoli yang tak terpisahkan. Karena kesuburan tanah tidak lepas dari kandungan air di dalam tanah tersebut.
Untuk mereka dalam "Gaib" pelindung hujan atau air, sama pentingnya dengan "Gaib" pelindung padi. Kedua hal ini menjadi dua substansi penting dalam "Nuras".
Dalam kropak 406 dan kropak 630, tercatat Patanjala adalah nama seorang Resi murid Siwa yang berjumlah 5 orang, namun tidak tercatat dalam Practical Sanskrit Dictionary Macdonell.
Kata "Patanjala" berarti air jatuh atau air hujan (pata=jatuh ; jala=air) .
sementara itu didalam sejarah Jawa Barat ada dua orang raja yang dianggap penjelmaan dari Patanjala, yaitu Wretikendayun raja ke-4 kerajaan Kendan ( pendiri Galuh ) dan Darmasiksa atau Maharaja Tarusbawa Sunda Sembada Manumanggalajaya ( Pendiri Sunda ). Penulis kropak 632 bahkan menganggap Patanjala sebagai daya-hidup , sehingga tokoh ini dalam kepercayaan orang sunda silam menggeser posisi Siwa dan Wisnu.
Dalam lakon Lutung Kasarung versi pantun Kanekes, tokoh Guru Minda di sebut Guru Minda Patanjala. Khusus di daerah Tangtu lakon itu tergolong sakral karena isinya berkaitan dengan perawatan tanaman padi dan pengurusannya setelah panen.
Tersirat disini hubungan antara "Patanjala", yang turun ke dunia untuk mengajarkan tata cara penanaman padi dan pemeliharaannya agar sesuai dengan kehendak Nyi Pohaci Sang Hyang Asri.
Dalam pantun Bogor, Batara Kuwera yang dianggap sebagai Dewa Hujan atau Dewa air dan kemakmuran di kisahkan sebagai "suami" Nyi Pohaci Hyang Asri. Dalam hal ini pula kita melihat bagaimana "gaib", pelindung padi dijodohkan dengan "gaib" pelindung hujan atau air, pelindung hujan atau air hanya berbeda nama.
Upacara "seren taun", dalam versi pantun Bogor dinamakan "Guru Bumi" yang berlangsung selama 9 hari dan ditutup dengan upacara "Kuwera" bakti pada bulan purnama. Upacara ini meliputi "syukuran" atas keberhasilan panen yang dipandang sebagai anugerah dari Dewa Kuwera.
Begitu pula pada upacara "Nuras" , karena sesungguhnya upacara "Nuras" adalah satu bentuk upacara syukuran , bagaimana seharusnya merawat Patanjala ( air ) sebutan lain bagi Wretikendayun dan Nyi Pohaci Sang Hyang Asri ( Padi ). Nuras di Kampung Nenggeng Desa Citaman Kecamatan Nagreg Kabupaten Bandung adalah sebuah langkah penelusuran.
penelusuran ini merupakan salah satu penggalian guna mengenali kembali kearifan leluhur, dari ragamnya khasanah kekayaan budaya "Sunda" khususnya.
Video dokumenter ini jauh dari sempurna, hasil dari sebuah observasi yang dilaksanakan sejak tahun 2004 oleh Masyarakat Sejarah Kendan.
Berkat dukungan dari berbagai pihak khususnya warga kampung Nenggeng, maka pada tahun 2009 rekontruksi terhadap nuras dapat dilaksanakan.
selanjutnya nuras menjadi agenda tahunan masyarakat , bukan saja dilaksanakan di Kampung Nenggeng, tapi di beberapa tempat di daerah priangan.
Nuras merupakan salah satu dari sekian banyak warisan leluhur di Mandala Kendan. masih banyak kearifan yang masih tersimpan.
Dukungan serta doanya dari semua pihak, tahun 2011 segera diangkat serpihan kearifan leluhur lainnya yaitu upacara seperti halnya nuras adalah "Nyalinan" dan "Rosulan".
Masyarakat Sejarah Kendan
Bob Ujo
Nagreg, 17 Oktober 2009
SUMBER : YOUTUBE.COM (mengalami perubahan)
ConversionConversion EmoticonEmoticon